Son of David


Most of the time I feel out of place.

Or sometime…cuman kaya sesak di nafas.

I feel beaten and failed. So many people look so calm and have their life in shape. I just cant relate with their life sometime. And I feel that they also cant relate with my life.

The blind man story is so close to my heart. I myself feel that I am blind.

I can think myself as Bartimeus. So despair with my blindness. I would shout “Hey Son of David, have mercy on me”.

An Invitation of a Good Life


Dulu sebelum ke Berlin, ada satu momen persimpangan yang bikin gw lumayan stress. Di waktu itu gw reach out ke beberapa councellor dalam hidup gw. Ada satu percakapan yang cukup menguatkan gw. Salah seorang councellor itu bilang yang intinya “Jangan terlalu fixate ke satu macam solusi yang rigid. Tuhan bisa kreatif koq. Anggap saja bahwa ini (momen persimpangan itu) adalah sebuah invitation of a good life”

Kalimat itu cukup memberi harapan buat gw kali itu. Padahal gw jarang bgt bisa excited akan hidup gw. Haha.

Fast forward 5 bulan berikutnya. Gw balik lagi ke kondisi yang despair. Musuh yang lama mendatangiku di tidurku. Dia memukul, menendang, dan menghancurkan. Di otakku hanya ada kegelapan dan keputus-asaan.

Terapis gw bilang untuk fokus ke survival dan problem solving aja. Hidup satu hari demi satu hari.

Berbahagialah mereka yang menangis dan berduka karena mereka akan dihibur. Kata-kata itu ga pernah begitu jelas buat hidup gw.

Ketika musuh itu timbul lagi, apakah mata kananku harus dicungkil? Atau tangan kananku harus dipotong?

Beberapa bulan lalu, hidup gw kayanya lebih simple. Haha. Bangun pagi, jalan kaki ke ruang kantor, trus meeting2 sampe sore. Sore makan bareng pacar. Weekend have fun with friends.

Dan tiba2 kuburan berlabur putih itu digoyang.

Oh Son of David. Have mercy of me.

Hidup ini Gila


5 bulan lalu, gw pikir gw cuman mau stay selama 2 tahun di Jakarta dan setelah itu gw bakal kembali berkelana ke luar Indo.

But here I am, I used most of my savings to pay the 50% down payment of an apartment at One Park Avenue, Jakarta and committed to 8-year-mortgage plan to pay the other 50% of the apartment’s price.

Waktu abis tanda tangan KPA sama bank, sore itu gw galau abis. 😭 Gila aja, tiap bulannya gw harus bayar cicilan sekitar x jt cuman buat sepetak space di Jakarta (not even my own land) selama effing 8 tahun! Berasa dirantai aja.

Tapi di sisi lain gw lumayan excited. Akhirnya gw bisa tinggal di tmpt tinggal gw sendiri. Selama 29 tahun terakhir hidup gw, gw selalu rent. Even di apartemen gw yang sekarang. Mau masang paku buat masang lukisan aja ga bisa! Hari senin kemarin akhirnya serah terima apartemennya dan butuh sekitar 2 bulan buat interior designer gw ngerenovasi dikit isi apartmentnya.

Gw lumayan suka sih apartementnya. I got the highest floor! which is lantai 29. Gw ga tau kenapa orang Indo ga suka lantai atas, padahal kalau di Singapore, US, Eropa, gitu, makin tinggi floornya, makin banyak dicari.

So here I am, in December bakal ready to move in and udah adulting sekarang: karena ambil cicilan!

The other crazy story

2 tahunan lalu, di ruang makan di Solo, gw bilang ama bonyok gw that I dont want and wont get married. I want to live single until undetermined time.

And here I am, one week ago I just proposed to this one sweet girl in JFK airport, New York!!!

I am crazy. Crazy in life and crazy in love.

Wish me luck!

  • PS: I am selling a really good studio apartment in Central Jakarta area. Price is really cheap since I don’t take any profit. Since I bought a new apartment, I won’t need the other apartment. See the detail here : https://www.99.co/id/properti/apartemen-dijual-baru-902091869 and send me an email at yoelkrisnanda (at) gmail.com if you are interested!
  • It crushes you


    Kemarin baca salah satu tulisan ex-designer tiket tentang 3 bulan pengalaman dia di Amsterdam. Ada satu bagian tentang dia yg kakinya luka, ama dokter ditolak treatment, trus harus bawa2 oven ke atas sendiri. When I read that part, it was so vivid. To the extend of I shouted “shit” in my brain.

    Kombinasi dari sendiri + jadi minoritas + baru adaptasi + ga tau bahasa lokal kalau ditaruh di kegiatan2 simple domestik emang bisa crushing you. Kemarin gua sempet ngalamin kaya gitu: padahal cuman simple aktivitasnya -> mau beli TV. 😅

    Drama di mulai dari amazon + kartu kredit Indo gua. Karena baru bulan pertama di Jerman, gua belum bisa apply kartu kredit – karena butuh payslip beberapa bulan. Jadi gua beli apa2 pake kartu kredit Indo gua. So far ga ada masalah sampai hari Kamis malam.

    Setelah beli TV di amazon itu, account Amazon gua diblock – dianggap ada suspicious activity. Dan setelah itu terjadi ada berjam2 gua contact CS nya Amazon and 3 kali lagi account gua diblock lagi.

    Akhirnya kemarin gua putusin untuk beli TVnya ke toko fisik aja. Pergi lah gua ke salah satu big electronic store di daerah Charlotenburg.

    Niatnya gua pengen TVnya dikirim, tapi yang jual kasih ide “Kenapa ga dikirim pakai taxi aja. Itu ada di depan toko. TVnya langsung bisa dipakai ga perlu nunggu2”.

    Ya ud gua ikutin idenya. Setelah bayar TVnya, gua di pinggir trotoar. Taxinya kaga ada. 😅 Jadi ya ud gua pesen pakai Uber. 20 menit di pinggir jalan, diliatin banyak orang lewat karena di depan gua ada kardus TV segede gaban. lol

    Akhirnya Ubernya nyampe. Udah lega. Tapi ga berenti di situ. Jalan2 banyak ditutup karena ada acara Berlin Marathon hari ini, Jadi gua sama driver Ubernya harus puter2 cari jalan ke apartemen gua.

    Si driver Ubernya menyerah sampai suatu ketika karena jalan2 yg ditutup itu. Jadi gua diturunin sekitar 15 menit jalan kaki dari apartemen gua. Bareng box TV 65 inch segede gaban itu.

    Gua telp temen gua yg kebetulan nginep di apartemen gua untuk ke tempat gua, buat bantuin bawa TV itu. 😅 Another 20 menit gua tungguin di pusat keramaian – Postdamerplatz. Rasanya udah kaya “Ngapain yah gua pindah ke Berlin” lol. Ada satu org lewat “Lu butuh bantuan ga?”. Mungkin liat muka gua yg super ngenes. Haha

    Akhirnya temen gua, Erick datang, dan karena jalanan ditutup, even buat nyebrang menuju arah apartemen gua, kita harus angkut itu TV ke bawah lewat stasiun subway dan naik tangga lagi ke atas!

    The next 30 menitan itu gua berdua angkat2 deh itu TV sampai di apartemen gua. Kampret. Hahah. Berhenti beberapa kali karena lower back skoliosis gua yang gampang sakit itu.

    Sanpai apartemen, masih harus unbox and pasang TVnya. Ternyata ga segampang unboxing Macbook. Hahaha.

    Beneran di balada 2 jam beli , gotong, dan pasang TV itu, gua beneran berpikir “Gua ngapain yah di Berlin?”

    Ketika aktivitas beli TV bisa crushing you.

    Anxiety


    Jadi ceritanya ada satu orang di kantor di bawah gua yang kurang happy sama gua. Alasannya cukup masuk akal, karena dengan masuknya gua, jarak dia ke atas makin jauh lagi. Gua jadi satu additional layer of chain of command di atas dia. Ya kasarannya dia jadi down-grade akses ke atasnya. Dan karena dia belum melihat value dari gua sebagai boss doi, dia jadi ga happy dengan cost additional layer ini.

    Gara2 hal ini, 2 minggu lalu gua udah ada dua drama ama doi. Haha. Tiap kali papasan ama gua, orang ini mukanya kaya silit kethek kalau orang Jawa bilang.

    Hal ini mulai kena ke ego gua. Karena dalam 9 tahun terakhir gua bekerja, belum pernah gua dapat penolakan dari tim yang gua pimpin sendiri. Biasanya ada resistance dari team lain, tapi jarang banget dari tim sendiri.

    Gua lumayan stress and anxious jadinya. Hari Sabtu kemarin gua lagi jalan-jalan, bisa-bisanya kalau papasan sama bentuk cewek yang mirip sama orang itu, gua langsung ga nyaman dan kepikiran dia.

    Akhirnya gua baca lagi salah satu chapter tentang “Fear” dari bukunya Dr. Julie Smith. Dan gua coba praktekin deh jurus2nya dia. “Pumpung pas lagi anxious, kita lihat bisa berhasil atau engga” haha

    Ini jurus2nya Smith untuk mengatasi rasa anxiety yang berlebihan

    1. Membuat jarak dengan pemikiran itu. Gw coba membuat jarak pemikiran itu dengan menulis apa yg gua rasakan. Termasuk dengan tulisan ini. Dengan menulis, gua jadi ada bayangan tentang besaran dari masalah ini. “Ooo emang ada masalah. Tapi besarannya ga satu semesta koq.” Gw membuat jarak juga dengan cobain teknik bernafas dia. Tiap kali gua anxious: gua simply tarik nafas 4 detik tahan 4 detik – hembuskan 4 detik – tahan 4 detik. Gitu terus sambil gua berusaha ambil jarak dengan pemikiran anxiety tentang orang itu.
    2. Menganalisis ada bias pemikiran apa aja. Smith ada sebutan beberapa tipe bias pemikiran: catastrophizing, personalizing, mental filter, overgeneralizing, labelling. Hampir 5-5nya gw bias dalam kasus ini.
      • Catastrophizing: gua udah mikir sampe skenario paling buruk -> gimana kalau gua gagal jadi design leader di Jerman ini dan harus pulang menanggung malu?
      • Personalizing: anak satu itu bermasalah karena karakter gua. Padahal siapapun yang dihire untuk jadi bos dia, ya pasti dia ga suka. Karena intinya dia ga suka design dari organisasinya.
      • Mental filter: gua ignore reception yang oke banget dari 90% anak2 lainnya dan cuman fokus ke respon negatif anak itu.
      • Labeling: karena berasa gagal dengan satu habungan sama anak itu, gua melabelin diri gua sebagai “leader yang gagal”
    3. Ganti fokus ke compassion dan kindness yang dikasih dari orang lain. Perasaan anxious dan takut gua percaya kalau itu berasal dari perasaan tidak aman, takut akan agresi dari orang lain. Gua coba ganti fokus pemikiran gua dari takut akan agresi dari anak gua itu ke betapa dalam satu minggu lalu ada dua orang: James and Jason, yang very kind welcoming sojourner baru kaya gua di Berlin ini.
    4. Reframing hal ini sebagai sebuah challenge yang seru. Gua mikir “wah kalau gua berhasil lewatin quest kali ini, bisa dapetin jurus leadership baru nih. Belum pernah gua ngalamin kasus penolakan justru dari anak di bawah gua langsung”.
    5. Inget-inget tentang value gua dan ambil keputusan berdasarkan value itu. Salah satu value yang gua selalu pake waktu kerja itu gua selalu pengen growth yang terbaik buat anak-anak di bawah gua. Then kenapa gua ga fokus untuk tetap berfungsi dengan value itu? Respon anak itu nanti kalaupun tetap negatif ya udah, yang penting gua ga justru ikut agresif atau petty ke dia hanya karena rasa takut. Mengambil stance karena value gua bukan karena rasa takut.

    Dengan exercising 5 hal di atas, gua lumayan tenang banget sih hari ini. Besok gua akan ada 1o1 dengan orang ini, wish me luck.

    Be Easy with Myself


    Udah lama gua ga stress karena hal-hal logistik atau kerjaan dalam hidup. Kemarin akhirnya gua ngalamin lagi.

    Kemarin gua akhirnya tiba di Berlin. Jam 9.45 pagi pesawat sampai di Airport Berlin Tegel, habis itu gua harus kerja langsung. Haha. Dan rasanya capek dan stress banget karena hal-hal yang kecil tapi gua ga bisa lakuin dengan mudah.

    Gua itu ada 4 koper, 1 ransel, dan 2 tentengan. Waktu mau ambil troli, baru inget kalau troli di Jerman itu kebanyakan harus pake koin 1 euro buat ambilnya. Gua udah muter cari mesin penuker koin ga ada. Nekat minta tuker koin sama 3 orang, ga punya juga mereka. Yawis, akhirnya gua geret itu barang sebanyak itu pake dua tangan dan dua pundak gua. Pyuh. Langsung teringat susahnya hidup sendiri di dunia rantau. Haha.

    Dari daerah bagasi gua harus geret itu barang2 ke parkiran, dan gua ga tau Uber pick up dimana. Took several chats back and forth sampai supir Ubernya nemuin gua. Dari airport gua diturunin ke hotel yang salah, cuman beda 200 meter mungkin, tapi again geret2 4 koper di trotoar yang ga datar itu lumayan yah buat skoliosis gua. Haha.

    Sampai di hotel jam 11 pagi, gua minta early check in dijawab dengan judes kalau ga bisa. Jam 3 baru bisa check in. Padahal gua harus mulai meeting2 jam 1. Kalau di Indonesia, gua biasanya bisa schmoozing the hotel people to get what I want. Here…I still need to learn how to do it. Jadi lumayan stressful juga.

    Then gua mau cari SIM Card, harus ke grocery store. Gua check di GoogleMap ada satu, tapi gua puterin dua block koq ga nemu-nemu. Akhirnya nanya orang and dikasih tau kalau grocery storenya di basement. Makanya gua ga nemu. Again, lumayan stress buat path finding aja gua susah.

    Setelah dapat SIM Cardnya, mau coba aktifin SIM Cardnya, bahasanya Jerman semua. Hahaha. Berasa lumpuh lagi. Took sometime buat register, video call untuk ID identification, sampai akhirnya kemarin malem aktif SIM Cardnya. Tapi sampai sekarang gua masih belum tau gimana cara check balance data plannya. Harus download appnya, tapi harus di app store Jerman, dan mau switch ke app store Jerman, gua males masuk2in data kredit card, dll. Bandwidth otaknya masih too full kemarin.

    Belum urusan kerjaan. Lumayan overwhelmed and bombarded with a lot of new things.

    Di tengah2 kerusuhan kemarin, ya pasti kepikiran “Haiissh. kenapa ini gua cari masalah hidup sendiri sih. Udah enak2 di Jakarta loh. Ada semua social benefits and support systems yang gua butuhin di sana” Tapi ya wis, gua jadi ingetin ama diri sendiri aja untuk berbaik hati dengan diri gua sendiri. Sabar dengan diri gua sendiri. Kalau udah bisa aktifin SIM Card sendiri, ya udah berbangga lah. Kalau udah bisa setup laptop kantor, ya udah itu small milestone. Kalau ga nemuin HBO max untuk nonton House of Dragon di Jerman, ya uda dipikirin nanti gimana caranya.

    Satu satu el. Ga boleh kasih standard terlalu tinggi. Orang namanya lagi pindahan. Ga boleh bandingin efisiensi dan efektivitas lu yang udah 4 tahun di Jakarta dan lu native Indo speaker ke lu yang baru 1 hari jejakin kaki di salah satu negara yang paling birokratis sedunia.

    Be easy little bit to your self lah el.

    Anjing


    Hahahaha.

    Anjing sih. Ini rasanya. Malem pertama setelah 2 tahun, gua ga bisa lagi bilang “good night, tidur dulu yah”. Or pagi besok gua ga bisa jawab “Good morning beb”

    Anjing sih.

    Hahahaha.

    2021: the Mundane and the Magic


    It’s that time of year again, when I get the chance to sit down and write about the highs and lows of my year 2021. Here’s a list of things to keep this tradition going: seven mundane and four magical items. Cheers and here’s hoping for more magical things in 2022.

    The Mundane

    Sweat and fat. Mundane cyclenya berulang terus. Cobain diet catering, gagal, makan kalap, cobain pump up olahraga, gagal, makan kalap, ikutin program diet, habit tracker, gagal sama babi sambal matah di Bali and end up ngomel and nyalahin diri sendiri aja. Bought walking pad and middle-class-ngehe bike road (Canyon bike!) this year too. Lumayan happy with the later, walau akhir2 bulan ini udah jarang dipake lagi karena berbagai macam excuse. Net net lumayan parah. Naik 4 kilo, gula darah pre-diabetes, di ambang overweight and high kolesterol. I signed up for another diet program and habit tracker module starting next Monday: wish me luck.

    Coaching, mentoring, and sponsoring. Said yes to many speaking invitations this year. Spoke in 24 hours of UX conference and several other internal companies events (Blibli, Telkomsel, Jago, Alami, Elevania, etc). Yang lumayan seru ada sesi khotbah di beberapa institusi pendidikan juga: Ciputra, IT Kalimantan, Binus, UI, some bootcamps, dan bahkan sebuah uni di Lucerne, Swiss. Lastly, I become a mentor to 3 companies design teams this year. Part time, short time, ad hoc, and moonlighting basis sebenernya. Mungkin cuman 1-3 jam per week in average. Tapi lumayan bikin gw liat hal-hal di luar design team gw. I also sponsored an internship program with 16 students from various Indo unis. Lumayan peer but I love the idea of it.

    Bekerja sepeti qudha. People come and go di tiket. Boss gw resign di awal tahun, ganti boss baru. Anak2 di team gw juga come and go. Like a normal cycle. Ga terlalu banyak adrenaline rush this year, lebih banyak equilibrium moments. Which I can use those moments to build stronger foundations. Ending the year with quite proud feelings. I think the design team has grown a lot. If design is the rendering of intent, I think, growing designers is the rendering of design leadership.

    Relationship. Won’t write that much here. But romantic wise is turns and twists. Friendship wise, I think I lose some of the good ones. Family wise, so so. But the not so mundane one was maybe I got a nephew this March. Akhaya namanya. Quite a hipster baby I would say.

    Self healing self healing kampret. Lol. Kaga ada sih self healing-self healingan. Mengawali tahun dengan cobain sebuah program obat dari psikiater gw. But it didn’t work that well. Akhir tahun ini akhirnya go back ke psikolog. I took around 10+ domestic zen trips this year. Ke Bali, Bandung, Magelang, Jogja, Solo, Labuan Bajo. Tapi mungkin highlightnya, gw lumayan mulai bisa berdamai sama hubungan-mau-nikah gw yang gagal sebelumnya. Dulunya setiap kali gw keinget momen2 tensed di hubungan itu, gw selalu menyalahkan diri gw sendiri. Jadinya toxic ke diri sendiri. Padahal truth nya, ya it took two to tango. Yes gw lumayan neurotic but yes she was neurotic too. Jadi bukan dia yang angel and gw yg devil. Lu juga neurotic abis sumpah! Iya lu. Kalau gw inget2 momen2 itu, gila sih lu parah banget juga sebagai manusia. Sama lah kita baggagenya. Sama2 banyak. Remis.

    I bought a piece of land in Bandung (~600m2). I paid a starchitect to design a villa there. Proses mencicil dan admin staffnya sih lumayan mundane. Tapi yang gw lumayan enjoy ketika gw gathering moodboard and requirement villanya buat dikasih ke starchitect gw. Desember ini udah jadi denah designnya. Dan tahun depan harusnya udah 100% jadi design material dan IMBnya juga. Lumayan happy sama hasilnya. Walau ga tau kapan gw bisa fully build it.

    Money money money. The ups, in August Bukalapak had its IPO. Gw lumayan lah, at that current price, kalau dijual semua saham Bukalapak gw, gw bisa beli satu lagi Apartemen 3 bedrooms di 1 Park Avenue. Really thankful for that. This is my second IPO experience after Uber. Berasa lucky banget gw bisa ikut wave IPO2an ini. Kalau IPO Uber kemarin bantu gw buat lunasin apartemen gw di 1 Park Avenue, IPO Bukalapak kedua ini moga2 bisa bantu gw bangun villa di Bandungnya. Di bulan October tapi gw kehilangan 78 juta karena investasi bodong. Not really scammed, karena dari awal gw udah tau itu scam tapi tetep greedy. Lesson learned lah. Other investment instruments are quite mundane: ikut2an hypenya crypto, p2p, and digital banks. But there is one uncommon instrument I tried: for the first time I becomes an angel investors. Investasi 20k USD ke sebuah startup di bidang insurance tech. Let’s see kalau 20k usd ini bakal jadi 0 usd atau 10x dalam 10 tahun ke depan.

    The Magic

    I got Covid in June. Berasa hampir mau mati. Masuk rumah sakit. Oksigen turun hampir ke level 90. Udah sebar-sebar password and account2 gw ke keluarga. Tapi kembali selamat hidup.

    I visited Graz, Austria and spoke in 2021 World Usability Congress on my birthday in October. Lumayan high gw di 2021, karena pertama kalinya ke luar negeri post Pandemic. Rasanya happy banget. Sempat stopped by di Nuremberg juga ketemu good friends, kobam, happy2. Terkadang kalau ditulis kaya gini baru sadar betapa lumayan banget achievement gw itu. Jadi speaker asian satu2nya dari belasan lain speaker2 bule. Tujuh tahun sejak gw menjejakkan kaki ke Deutschland. Desember ini got anothe surprise, undangan buat jd pembicara buat salah satu respected UX research conference di New York where they will afford all the flight and hotel cost. I said yes instantly.

    I took a Philosophy grad program. Alasan ikutnya sebenernya cukup ngadi-ngadi. Habis gw sembuh dari Covid, tiba2 gw questioning my life essence. A lot of questions. So ended up “cobain ah ikut Master of Philosophy program ini”. Awalnya gw ambil filsafat keilahian dengan intensi untuk belajar akan Sang Pengada tapi ternyata setelah ikut satu minggu kelasnya, lensanya terlalu spesifik. Jadinya gw switch ke filsafat umum/sekuler. Sudah 6 bulanan I have been learning in those evening classes. Lumayan enjoy. Although I know that I am gonna fail in 1 or 2 classes. Karena gw ga submit final papernya. lol

    I really enjoyed reading, learning, and writing. Walaupun cuman nulis di twitter tipis-tipis, tapi lumayan enjoy, Termasuk baca lumayan banyak buku this year. Somehow when I get that aha moment after reading something, ada dopamine shot gitu di kepala gw. Makanya I decided to spend my last day in 2021 to write this post too. It is just quite refreshing to manifest concrete things from an abstract world.

    10 Oktober 2021


    Pemandangan ga jelas kaya gini. Makanannya juga yg gw ga suka: roti. Tapi gw happy banget. Cuman karena di sekeliling gw pada ngomong Jerman. Haissh. How I miss this continent so much.