Anxiety

Jadi ceritanya ada satu orang di kantor di bawah gua yang kurang happy sama gua. Alasannya cukup masuk akal, karena dengan masuknya gua, jarak dia ke atas makin jauh lagi. Gua jadi satu additional layer of chain of command di atas dia. Ya kasarannya dia jadi down-grade akses ke atasnya. Dan karena dia belum melihat value dari gua sebagai boss doi, dia jadi ga happy dengan cost additional layer ini.

Gara2 hal ini, 2 minggu lalu gua udah ada dua drama ama doi. Haha. Tiap kali papasan ama gua, orang ini mukanya kaya silit kethek kalau orang Jawa bilang.

Hal ini mulai kena ke ego gua. Karena dalam 9 tahun terakhir gua bekerja, belum pernah gua dapat penolakan dari tim yang gua pimpin sendiri. Biasanya ada resistance dari team lain, tapi jarang banget dari tim sendiri.

Gua lumayan stress and anxious jadinya. Hari Sabtu kemarin gua lagi jalan-jalan, bisa-bisanya kalau papasan sama bentuk cewek yang mirip sama orang itu, gua langsung ga nyaman dan kepikiran dia.

Akhirnya gua baca lagi salah satu chapter tentang “Fear” dari bukunya Dr. Julie Smith. Dan gua coba praktekin deh jurus2nya dia. “Pumpung pas lagi anxious, kita lihat bisa berhasil atau engga” haha

Ini jurus2nya Smith untuk mengatasi rasa anxiety yang berlebihan

  1. Membuat jarak dengan pemikiran itu. Gw coba membuat jarak pemikiran itu dengan menulis apa yg gua rasakan. Termasuk dengan tulisan ini. Dengan menulis, gua jadi ada bayangan tentang besaran dari masalah ini. “Ooo emang ada masalah. Tapi besarannya ga satu semesta koq.” Gw membuat jarak juga dengan cobain teknik bernafas dia. Tiap kali gua anxious: gua simply tarik nafas 4 detik tahan 4 detik – hembuskan 4 detik – tahan 4 detik. Gitu terus sambil gua berusaha ambil jarak dengan pemikiran anxiety tentang orang itu.
  2. Menganalisis ada bias pemikiran apa aja. Smith ada sebutan beberapa tipe bias pemikiran: catastrophizing, personalizing, mental filter, overgeneralizing, labelling. Hampir 5-5nya gw bias dalam kasus ini.
    • Catastrophizing: gua udah mikir sampe skenario paling buruk -> gimana kalau gua gagal jadi design leader di Jerman ini dan harus pulang menanggung malu?
    • Personalizing: anak satu itu bermasalah karena karakter gua. Padahal siapapun yang dihire untuk jadi bos dia, ya pasti dia ga suka. Karena intinya dia ga suka design dari organisasinya.
    • Mental filter: gua ignore reception yang oke banget dari 90% anak2 lainnya dan cuman fokus ke respon negatif anak itu.
    • Labeling: karena berasa gagal dengan satu habungan sama anak itu, gua melabelin diri gua sebagai “leader yang gagal”
  3. Ganti fokus ke compassion dan kindness yang dikasih dari orang lain. Perasaan anxious dan takut gua percaya kalau itu berasal dari perasaan tidak aman, takut akan agresi dari orang lain. Gua coba ganti fokus pemikiran gua dari takut akan agresi dari anak gua itu ke betapa dalam satu minggu lalu ada dua orang: James and Jason, yang very kind welcoming sojourner baru kaya gua di Berlin ini.
  4. Reframing hal ini sebagai sebuah challenge yang seru. Gua mikir “wah kalau gua berhasil lewatin quest kali ini, bisa dapetin jurus leadership baru nih. Belum pernah gua ngalamin kasus penolakan justru dari anak di bawah gua langsung”.
  5. Inget-inget tentang value gua dan ambil keputusan berdasarkan value itu. Salah satu value yang gua selalu pake waktu kerja itu gua selalu pengen growth yang terbaik buat anak-anak di bawah gua. Then kenapa gua ga fokus untuk tetap berfungsi dengan value itu? Respon anak itu nanti kalaupun tetap negatif ya udah, yang penting gua ga justru ikut agresif atau petty ke dia hanya karena rasa takut. Mengambil stance karena value gua bukan karena rasa takut.

Dengan exercising 5 hal di atas, gua lumayan tenang banget sih hari ini. Besok gua akan ada 1o1 dengan orang ini, wish me luck.

Leave a comment